Kedudukan sunah dalam sistem hukum islam
Hukum Islam bertumpu dan bersumber
pada dua macam sumber hukum yang utama, yaitu al-qur’an dan sunnah (al-hadist).
Al-qur’an adalah kalamulloh yang
diturunkan pada Nabi Muhammad SAW. Lafadz-lafadznya sebagai mukjizat dan
membacanya merupakan suatu amal ibadah, Allah menurunkan al-qur’an kepada
Muhammad dalam kurang lebih 23 tahun. Diturunkan melalui pengemban amanat wahyu
(Jibril) dengan lafadz-lafadz yang asli dan diwahyukan kepada nabi secara jelas
ketika beliau terjaga bukan pada waktu tidur, bahkan ilham (bisikan pada jiwa)
kemudian al-qur’an disampaikan kepada umatnya persis seperti apa yang
diturunkan kepadanya.
Sedangkan sunnah dalam istilah
para ahli ahli hadist ialah semua perkataan, perbuatan, persetujuan, cita-cita,
sifat-sifat atau keadaan akhlaq dan bentuk fisiknya. yang dimaksud dengan
persetujuan (takrir) ialah seseorang mengatakan suatu ucapan atau melakukan
suatu perbuatan dihadapan Nabi dan beliau tidak mengingkarinya, atau perkataan
dan perbuatan itu tidak dikerjakan dihadapan beliau namun beritanya sampai
kepada beliau dan beliau tidak memberikan komentar, maka dengan tidak
memberikan komentar dan ketidak ingkarannya itu merupakan persetujuan (takrir).
Fungsi hadist terhadap al-qur’an
itu sendiri sebagai pensyarah; memerinci hal-hal yang disebutkan secara garis
besar dalam al-qur’an memberikan pembatas ayat-ayat yang masih mutlak,
menentukan arti khusus ayat-ayat yang masih umum, menjelaskan ayat-ayat yang
pelik dan menguraikan ayat-ayat atau hal-hal yang dikemukakan secara ringkas.
Nabi dalam memberikan penjelasan mengenai al-qur’an terkadang dengan ucapan,
perbuatan, terkadang dengan kedua-duanya, salah satu contoh:
·
Di dalam al-qur’an tidak ada penjelasan tentang
jumlah, bilangan, bacaan, cara solat, kemudian sunnah nya lah yang
menjelaskannya.
·
Juga di dalam al-qur’an tidak dijelaskan tentang
kapan zakat itu diwajibkan, berapa nisobnya, berapa banyak yang harus
dikeluarkan, dan harta benda apa yang harus dikeluarkan zakatnya. Maka
sunnahlah yang menerangkan secara terperinci tentang hal itu.
Dan masih banyak lagi contoh-contoh lainnya yang kita temui.
Mengingat penting nya hadist
(sunnah) dalam syariat islam dan fungsinya terhadap al-qur’an para sahabat sangat
memberikan perhatian terhadap hadist-hadist Nabi dan berusaha keras untuk
memperolehnya sebagaimana sikap mereka terhadap al-qur’an. Mereka menghafalkan
lafadz-lafadz hadist dan maknanya, memahami dan mengetahui maksud dan
tujuannya, juga mengamalkan isi dan sunnah tersebut, termasuk mereka tahu
berapa besarnya pahala dari menyampaikan sunnah dari rasulullah. Oleh karena
itu tidaklah heran mereka bersungguh-sungguh menyampaikan hadist yang mereka
terima, karena mereka yakin bahwa hadist itu merupakan (ajaran) agama yang
wajib disampaikan kepada segenap manusia dan syariat universal yang abadi.
Penulisan hadist zaman Rasulullah dan sesudahnya
Dimasa Rasulullah masih hidup,
hadist belum dibukukan, dalam arti umum seperti al-qur’an. Hal ini disebabkan dua
faktor:
Para sahabat berpegang pada
kekuatan hafalan dan kecerdasan akal mereka, disamping tidak lengkapnya
alat-alat tulis yang mereka miliki.
Adanya larangan menulis hadist,
Rasulullah bersabda: “janganlah kemu menulis sesuatu an, barang siapa yang telah
menulis sesuatu selain al-qur’an hendak lah dihapus” (HR. Muslim) (yang kamu
terima) dariku, selain al-qur’an, barang siapa yang telah menulis sesuatu
selain al-qur’an hendaklah dihapus” (HR. Muslim)
Boleh jadi larangan menulis hadist
itu dikerenakan dikhawatirkan akan tercampurnya hadist dengan al-qur’an atau
penulisan hadis itu akan melalaikan mereka dari al-qur’an, atau larangan itu
ditujukan kepada orang-orang yang dipercaya kekuatan hafalannya. Tetapi bagi
mereka yang tidak lagi dikhawatirkan bahwa sunnah/hadist dengan al-qur’an akan
tercampur aduk, seperti mereka yang pandai baca tulis atau karena mereka yang
khawatir lupaakan penulisan hadist itu diperbolehkan, dan dalam pengertian
inilah menurut beberapa riwayat penulisan hadist bagi sebagian sahabat itu
diizinkan.
Tidak berselang lama setelah
Rasulullah berpulang ke hadirat Allah, para penulis hadist dari kalangan
sahabat maupun tabi’in bermunculan, kalifah Umar bin Khattab r.a. pernah
bermaksud membukukan hadist, beliau mengumpulkan para sahabat lainnya dan
mereka sepakat untuk membukukan tetapi nampaknya Allah belium menghendaki ide
Umar terlaksana. Baru setelah kekhalifahan Umar bin Abdul Aziz (tahun 99H)
beliau menginstruksikan pada Abu Bakar bin Muhammad bin Amr bin Hamz (dia
adalah ahli fiqih dari kalangan tabi’in yang diangkat oleh Umar bin Abdul Aziz
sebagai gubernur dan qodi (juru hukum) di Madinah wafat pada 120H)
Selain Ibnu Hazm adalah Imam
Muhammad bin Muslim bin Shihab Az-Zuhri (ulama terkemuka di Hijaz dan Syam,
wafat pada 124 H) khalifah Umar bin Abdul Aziz menginstruksikan pembukuan
karena merasa khawatir hilang dan lenyapnya hadist/sunnah kerena banyak sahabat
yang meninggal atau karena khawatir tercampur baur antara hadist asli dan
hadist bathil. Karena pada masa itu telah meluas dan dianut barbagai ras suku
bangsa dan berbagai kepentingan dalam memeluk agama islam, disamping itu
bermunculan kelompok atheis yang ingin menghancurkan agama islam dengan cara
membuat hadist palsu yang menyesatkan demi mendukung kepentingan mereka.
Setelah generasi (tabaqah)
az-Zuhri dan Abu Bakar ibn Hamz berlalu, muncullah generasi berikutnya yang
berlomba-lomba membukukan hadist, tercatat sebagai ulama yang menulis hadist,
antara lain:
·
Abu Muhammad Abdul Malik bin Abdul Aziz bin
Juraij, wafat tahun 150 H di Mekah
·
Ma’mar bin Rasyid, wafat tahun 153 H di Yaman
·
Abu Amr Abdur Rahman al-Azwa’i, wafat tahun 156
H di Syam
·
Sa’id bin Abi Arubah, wafat pada 151 H
·
Rabi’ bin Sabih, wafat tahun 160 H
·
Hammad bin Abi Salamah, wafat pada tahun 176 H
di Basrah
·
Muhammad bin Ishaq, wafat pada tahun 151 H
·
Imam Malik bin Anas, wafat pada 179 H di Madinah
·
Abu Abdulllah Sufyan As Sauri,wafat 161 H di
Kufah
·
Abdullah bin Mubarak, wafat 181 H di Khurasan
·
Hasyim bin Basyir, wafat pada 188 H di Wasit
·
Jarir bin Abdul Hamid, wafat 188 H
·
Al Lais bin Sa’d, wafat pada 175 H di Mesir
Pada masa ini pembukuan hadist
masih campur aduk antara hadist dengan pendapat sahabat dan fatwa tabi’in tapi
sayang karya-karya zaman itu hanya karya Imam Malik “Muwattho” yang kita
jumpai, yang lain masih berupa manuskrip yang bertebaran di berbagai
perpustakaan, itupun di perpustakaan barat. Tragedi dan serangan keji yang
menimpa negeri Islam seperti penyerbuan
dan perampasan pasukan tartar dan tentara salib merupakan penyebab hilangnya
hadist yang telah dibukukan itu.
Zaman keemasan pembukuan hadist
yaitu pada tahun 200-300 hijriyah, pada abad ini hanya pembukuan hadist
Rasulullah saja bahkan ada yang menghimpun kitab musnad dan sebagian penyusun
hadist yang dalam susunannya mengklasifikasikan sahabat menurut kronologi
keislamannya (masuk islamnya) ulama terbaik yang menyusun kitab ini adalah
Ahmad bin Hanbal.
Pengarang lainnya, yang mengikuti
sistem Musnad ini mengklasifikasikan sahabat berdasarkan abjad nama. Mereka
memulai dengan sahabat yang huruf pertama namanya huruf “alif” huruf “ba” dan
seterusnya.
Pada masa itu ulama terbaik yang
menyusun berdasarkan cara demikian ialah Imam Abul Qasim at Tabrani (wafat 260
H) dalam kitabnya Al-Mu’jamul Kabir.
Ulama lainnya yang juga menyusun
hadist dengan sistem mudsad ini ialah Ishak bin Rahawaih (wafat 238 H), Utsman
bin Abi Syaibah (wafat 239 H), Ya’qub ibn Abi Syaibah (wafat 263 H) dan
lain-lain.
Di samping itu, pada masa ini ada
juga ulama yang menyusun kitabnya menurut sistematika bab fikih dan sebagainya.
Ia memulai penyusunannya dengan kitab salat, zakat, puasa, haji, lalu bab
gadaian dan seterusnya.
Para penulis dengan sistem fikih ini pun, di antaranya ada
yang:
a.
Membatasi kitab-kitabnya dengan hanya memuat
hadist sahih semata, seperti Imam Bukhari dan Muslim
b.
Tidak membatasi kitabnya dengan hanya memuat
hadist sahih semata, tetapi ia memasukkan pula hadist-hadist sahih dan hasan,
bahkan da’if sekalipun. Sewaktu-waktu terkadang mereka menerangkan pula
nilai-nilai hadist yang dimuatnya itu. Namun pada saat yang lain, mereka tidak
menjelaskannya. Hal ini karena mereka telah merasa cukup dengan hanya
menyebutkan sanad hadist secara langkap dan menyerahkan sepenuhnya kepada para
pembaca untuk mengkritik dan meneliti sanad-sanad dan matannya serta untuk
membedakan antara hadist-hadist sahih, hasan dan da’if. Tugas membeda-bedakan
hadist ini bukanlah suatu pekerjaan yang sulit bagi para pelajar hadist pada
waktu itu, terlebih lagi bagi para ulama. Contoh ulama bagi kitab hadist yang
disusun menurut sistematika fikih ini ialah kitab-kitab yang disusun oleh para
penghimpun sunah (hadist) yang empat, yaitu Imam Abu Daud, Tirmizi, Nasa’i dan
Ibnu Majah.
Abad ketiga hijriah ini merupakan
zaman keemasan dalam bidang sejarah (tarikh) hadist dan pengumpulannya. Pada
abad ini muncul sejumlah besar ulama kenamaan bidang hadist dan kritikus
hadist. dan pada masa ini pula lah terbitnya sinar terang “Kutubus Sittah dan
kitab semisal yang memuat hampir semua kecuali sebagian kecil hadist Nabi dan
yang menjadi pegangan utama bagi para ahli fikih, mujtahid, ulama dan
pengarang. Dalam kitab-kitab tersebut para pemimpin rohani, pembaharu, ahli
pendidikan, ahli moral, ahli jiwa dan sosial mendapatkan apa yang mereka
perlukan.