Jumat, 14 September 2012

Sejarah Penulisan dan Pembukuan Hadist


Kedudukan sunah dalam sistem hukum islam
Hukum Islam bertumpu dan bersumber pada dua macam sumber hukum yang utama, yaitu al-qur’an dan  sunnah (al-hadist).
Al-qur’an adalah kalamulloh yang diturunkan pada Nabi Muhammad SAW. Lafadz-lafadznya sebagai mukjizat dan membacanya merupakan suatu amal ibadah, Allah menurunkan al-qur’an kepada Muhammad dalam kurang lebih 23 tahun. Diturunkan melalui pengemban amanat wahyu (Jibril) dengan lafadz-lafadz yang asli dan diwahyukan kepada nabi secara jelas ketika beliau terjaga bukan pada waktu tidur, bahkan ilham (bisikan pada jiwa) kemudian al-qur’an disampaikan kepada umatnya persis seperti apa yang diturunkan kepadanya.
Sedangkan sunnah dalam istilah para ahli ahli hadist ialah semua perkataan, perbuatan, persetujuan, cita-cita, sifat-sifat atau keadaan akhlaq dan bentuk fisiknya. yang dimaksud dengan persetujuan (takrir) ialah seseorang mengatakan suatu ucapan atau melakukan suatu perbuatan dihadapan Nabi dan beliau tidak mengingkarinya, atau perkataan dan perbuatan itu tidak dikerjakan dihadapan beliau namun beritanya sampai kepada beliau dan beliau tidak memberikan komentar, maka dengan tidak memberikan komentar dan ketidak ingkarannya itu merupakan persetujuan (takrir).
Fungsi hadist terhadap al-qur’an itu sendiri sebagai pensyarah; memerinci hal-hal yang disebutkan secara garis besar dalam al-qur’an memberikan pembatas ayat-ayat yang masih mutlak, menentukan arti khusus ayat-ayat yang masih umum, menjelaskan ayat-ayat yang pelik dan menguraikan ayat-ayat atau hal-hal yang dikemukakan secara ringkas. Nabi dalam memberikan penjelasan mengenai al-qur’an terkadang dengan ucapan, perbuatan, terkadang dengan kedua-duanya, salah satu contoh:
·      Di dalam al-qur’an tidak ada penjelasan tentang jumlah, bilangan, bacaan, cara solat, kemudian sunnah nya lah yang menjelaskannya.
·      Juga di dalam al-qur’an tidak dijelaskan tentang kapan zakat itu diwajibkan, berapa nisobnya, berapa banyak yang harus dikeluarkan, dan harta benda apa yang harus dikeluarkan zakatnya. Maka sunnahlah yang menerangkan secara terperinci tentang hal itu.
Dan masih banyak lagi contoh-contoh lainnya yang kita temui.
Mengingat penting nya hadist (sunnah) dalam syariat islam dan fungsinya terhadap al-qur’an para sahabat sangat memberikan perhatian terhadap hadist-hadist Nabi dan berusaha keras untuk memperolehnya sebagaimana sikap mereka terhadap al-qur’an. Mereka menghafalkan lafadz-lafadz hadist dan maknanya, memahami dan mengetahui maksud dan tujuannya, juga mengamalkan isi dan sunnah tersebut, termasuk mereka tahu berapa besarnya pahala dari menyampaikan sunnah dari rasulullah. Oleh karena itu tidaklah heran mereka bersungguh-sungguh menyampaikan hadist yang mereka terima, karena mereka yakin bahwa hadist itu merupakan (ajaran) agama yang wajib disampaikan kepada segenap manusia dan syariat universal yang abadi.

Penulisan hadist zaman Rasulullah dan sesudahnya
Dimasa Rasulullah masih hidup, hadist belum dibukukan, dalam arti umum seperti al-qur’an. Hal ini disebabkan dua faktor:
Para sahabat berpegang pada kekuatan hafalan dan kecerdasan akal mereka, disamping tidak lengkapnya alat-alat tulis yang mereka miliki.
Adanya larangan menulis hadist, Rasulullah bersabda: “janganlah kemu menulis sesuatu an, barang siapa yang telah menulis sesuatu selain al-qur’an hendak lah dihapus” (HR. Muslim) (yang kamu terima) dariku, selain al-qur’an, barang siapa yang telah menulis sesuatu selain al-qur’an hendaklah dihapus” (HR. Muslim)
Boleh jadi larangan menulis hadist itu dikerenakan dikhawatirkan akan tercampurnya hadist dengan al-qur’an atau penulisan hadis itu akan melalaikan mereka dari al-qur’an, atau larangan itu ditujukan kepada orang-orang yang dipercaya kekuatan hafalannya. Tetapi bagi mereka yang tidak lagi dikhawatirkan bahwa sunnah/hadist dengan al-qur’an akan tercampur aduk, seperti mereka yang pandai baca tulis atau karena mereka yang khawatir lupaakan penulisan hadist itu diperbolehkan, dan dalam pengertian inilah menurut beberapa riwayat penulisan hadist bagi sebagian sahabat itu diizinkan.
Tidak berselang lama setelah Rasulullah berpulang ke hadirat Allah, para penulis hadist dari kalangan sahabat maupun tabi’in bermunculan, kalifah Umar bin Khattab r.a. pernah bermaksud membukukan hadist, beliau mengumpulkan para sahabat lainnya dan mereka sepakat untuk membukukan tetapi nampaknya Allah belium menghendaki ide Umar terlaksana. Baru setelah kekhalifahan Umar bin Abdul Aziz (tahun 99H) beliau menginstruksikan pada Abu Bakar bin Muhammad bin Amr bin Hamz (dia adalah ahli fiqih dari kalangan tabi’in yang diangkat oleh Umar bin Abdul Aziz sebagai gubernur dan qodi (juru hukum) di Madinah wafat pada 120H)
Selain Ibnu Hazm adalah Imam Muhammad bin Muslim bin Shihab Az-Zuhri (ulama terkemuka di Hijaz dan Syam, wafat pada 124 H) khalifah Umar bin Abdul Aziz menginstruksikan pembukuan karena merasa khawatir hilang dan lenyapnya hadist/sunnah kerena banyak sahabat yang meninggal atau karena khawatir tercampur baur antara hadist asli dan hadist bathil. Karena pada masa itu telah meluas dan dianut barbagai ras suku bangsa dan berbagai kepentingan dalam memeluk agama islam, disamping itu bermunculan kelompok atheis yang ingin menghancurkan agama islam dengan cara membuat hadist palsu yang menyesatkan demi mendukung kepentingan mereka.
Setelah generasi (tabaqah) az-Zuhri dan Abu Bakar ibn Hamz berlalu, muncullah generasi berikutnya yang berlomba-lomba membukukan hadist, tercatat sebagai ulama yang menulis hadist, antara lain:
·      Abu Muhammad Abdul Malik bin Abdul Aziz bin Juraij, wafat tahun 150 H di Mekah
·      Ma’mar bin Rasyid, wafat tahun 153 H di Yaman
·      Abu Amr Abdur Rahman al-Azwa’i, wafat tahun 156 H di Syam
·      Sa’id bin Abi Arubah, wafat pada 151 H
·      Rabi’ bin Sabih, wafat tahun 160 H
·      Hammad bin Abi Salamah, wafat pada tahun 176 H di Basrah
·      Muhammad bin Ishaq, wafat pada tahun 151 H
·      Imam Malik bin Anas, wafat pada 179 H di Madinah
·      Abu Abdulllah Sufyan As Sauri,wafat 161 H di Kufah
·      Abdullah bin Mubarak, wafat 181 H di Khurasan
·      Hasyim bin Basyir, wafat pada 188 H di Wasit
·      Jarir bin Abdul Hamid, wafat 188 H
·      Al Lais bin Sa’d, wafat pada 175 H di Mesir

Pada masa ini pembukuan hadist masih campur aduk antara hadist dengan pendapat sahabat dan fatwa tabi’in tapi sayang karya-karya zaman itu hanya karya Imam Malik “Muwattho” yang kita jumpai, yang lain masih berupa manuskrip yang bertebaran di berbagai perpustakaan, itupun di perpustakaan barat. Tragedi dan serangan keji yang menimpa negeri Islam seperti  penyerbuan dan perampasan pasukan tartar dan tentara salib merupakan penyebab hilangnya hadist yang telah dibukukan itu.
Zaman keemasan pembukuan hadist yaitu pada tahun 200-300 hijriyah, pada abad ini hanya pembukuan hadist Rasulullah saja bahkan ada yang menghimpun kitab musnad dan sebagian penyusun hadist yang dalam susunannya mengklasifikasikan sahabat menurut kronologi keislamannya (masuk islamnya) ulama terbaik yang menyusun kitab ini adalah Ahmad bin Hanbal.
Pengarang lainnya, yang mengikuti sistem Musnad ini mengklasifikasikan sahabat berdasarkan abjad nama. Mereka memulai dengan sahabat yang huruf pertama namanya huruf “alif” huruf “ba” dan seterusnya.
Pada masa itu ulama terbaik yang menyusun berdasarkan cara demikian ialah Imam Abul Qasim at Tabrani (wafat 260 H) dalam kitabnya Al-Mu’jamul Kabir.
Ulama lainnya yang juga menyusun hadist dengan sistem mudsad ini ialah Ishak bin Rahawaih (wafat 238 H), Utsman bin Abi Syaibah (wafat 239 H), Ya’qub ibn Abi Syaibah (wafat 263 H) dan lain-lain.
Di samping itu, pada masa ini ada juga ulama yang menyusun kitabnya menurut sistematika bab fikih dan sebagainya. Ia memulai penyusunannya dengan kitab salat, zakat, puasa, haji, lalu bab gadaian dan seterusnya.
Para penulis dengan sistem fikih ini pun, di antaranya ada yang:
a.    Membatasi kitab-kitabnya dengan hanya memuat hadist sahih semata, seperti Imam Bukhari dan Muslim
b.    Tidak membatasi kitabnya dengan hanya memuat hadist sahih semata, tetapi ia memasukkan pula hadist-hadist sahih dan hasan, bahkan da’if sekalipun. Sewaktu-waktu terkadang mereka menerangkan pula nilai-nilai hadist yang dimuatnya itu. Namun pada saat yang lain, mereka tidak menjelaskannya. Hal ini karena mereka telah merasa cukup dengan hanya menyebutkan sanad hadist secara langkap dan menyerahkan sepenuhnya kepada para pembaca untuk mengkritik dan meneliti sanad-sanad dan matannya serta untuk membedakan antara hadist-hadist sahih, hasan dan da’if. Tugas membeda-bedakan hadist ini bukanlah suatu pekerjaan yang sulit bagi para pelajar hadist pada waktu itu, terlebih lagi bagi para ulama. Contoh ulama bagi kitab hadist yang disusun menurut sistematika fikih ini ialah kitab-kitab yang disusun oleh para penghimpun sunah (hadist) yang empat, yaitu Imam Abu Daud, Tirmizi, Nasa’i dan Ibnu Majah.
Abad ketiga hijriah ini merupakan zaman keemasan dalam bidang sejarah (tarikh) hadist dan pengumpulannya. Pada abad ini muncul sejumlah besar ulama kenamaan bidang hadist dan kritikus hadist. dan pada masa ini pula lah terbitnya sinar terang “Kutubus Sittah dan kitab semisal yang memuat hampir semua kecuali sebagian kecil hadist Nabi dan yang menjadi pegangan utama bagi para ahli fikih, mujtahid, ulama dan pengarang. Dalam kitab-kitab tersebut para pemimpin rohani, pembaharu, ahli pendidikan, ahli moral, ahli jiwa dan sosial mendapatkan apa yang mereka perlukan.